Nama lahir: Zahedi Riza Sjahranie
Lahir: 3 Februari 1962
Asal: Bandung, Indonesia
Genre: Instrumental rock Hard rock Progressive metal Progressive rock Heavy metal
Instrumen: Gitar
Tahun aktif: 1980 - sekarang Terkait dengan Edane, God Bless, Superdigi, Cynomadeus
Instrumen khusus:
Ibanez
Gibson SG
Cort KX Custom
Marlique GES Eet Sjahranie Signature Series
Eet Syahranie adalah salah seorang gitaris rock di Indonesia. Kelahiran Bandung. Mengikuti pendidikan musik di Music Institute & Technology (MI). Mempengaruhi banyak gitaris Indonesia dari segi tehnik bermain gitar rock.
Eet bergabung dengan banyak musisi di tahun 90an, seperti Super DiGi, WOW, dan lain sebagainya. Pada tahun 1990 membentuk group Cynomadeus (Cycle Neo Amadeus) bersama Iwan Madjid, Todung Pandjaitan, Fajar Satritama, dan Ary Safriadi. Disamping itu juga kontribusinya terhadap rekaman solo dari vokalis-vokalis di Indonesia seperti, Nicky Astria, Ita Purnamasari, Mel Sandy, Atiek CB, dan masih banyak lagi.
Setelah itu Eet mendapat tawaran untuk bergabung dengan super group God Bless, untuk menggantikan posisi gitaris Ian Antono. Membuahkan beberapa album yang diselesaikan hingga tour shownya ke seluruh Indonesia.
Eet Syahranie membentuk group EdanE. Hingga kini Eet Syahranie masih berlanjut dengan keberadaan Edane yang belakangan ini muncul dengan label Sony Musik indonesia. Eet Sjahranie selalu dihubungkan dengan kepiawaiannya memetik dawai gitar. Setelah Ian Antono, Eet disebut-sebut sebagai jawara gitar di tanah air. Imej itu memang layak disandangnya.
Terlebih ia kini menjadi salah satu gitaris grup rock Indonesia yang cukup disegani, EdanE. Dilahirkan di Bandung, 3 Februari 1952 dengan nama Zahedi Riza Sjahranie, anak ketujuh dari kedepan bersaudara ini mulai menyenangi musik saat menginjak usia 5 atau 6 tahun. Maklum kakak-kakanya sering memutar lagu-lagu barat, seperti Deep Purple, Jimi Hendrix, Led Zeppelin, The Beatles, hingga BeeGees.
Kendati diakuinya hal itu sedikit banyak mempengaruhi kepekaan rasanya dalam bermusik, bukan gara-gara itu yang menggugah hatinya belajar gitar. "Justru yang membuat saya mendalami musik karena melihat Koes Plus. Asyik banget melihat aksi panggung Yok atau Yon Koeswoyo," ujar Eet mengenang. Awalnya ia belajar gitar dengan seorang anak yang jadi yang juru parkir di depan sekolahnya di Samarinda Kalimantan Timur, tempat keluarganya bermukim saat itu.
Sehabis pulang sekolah, ia selalu mengajak sohib-sohibnya belajar gitar bersama. Sejak itu "secara alamiah saya belajar sendiri," tuturnya. Mulai dari lagu daerah, folksong, dangdut sampai lagu-lagu pop yang sedang populer saat itu ia coba untuk mencari akord-akordnya.
Di masa kecil, sesekali Eet sering diajak ayahnya, A Wahab Sjahranie yang pernah jadi Gubernur Kalimantan Timur 1967-1977, ke Jakarta, sekalian mengunjungi kakaknya yang sedang studi di Ibukota. Sang kakak kebetulan mahir bermain gitar klasik. Kesempatan itu tidak disia-siakan Eet untuk mencuri ilmunya. "Lumayan ia mengajarkan satu lagu klasik," katanya Sekembalinya, Eet menunjukan kebolehannya di hadapan teman-temannya.
Merasa mendapat perhatian lebih dari kawan-kawannya, Eet kian percaya diri untuk lebih mendalami teknik permainan gitar. Lagu-lagu yang rhythm dan petikan melodinya enggak gampang, ia jelajahi. Keinginannya pun semakin menggebu ketika orangtuanya membelikan gitar elektrik. Berbeda yang ia alami saat memetik gitar akustik, dengan gitar elektrik ia mulai tahu sound-sound aneh. Refrensi musiknya sedikit demi sedikit mulai bertambah. "Orientasi saya tidak lagi dengar lagu-lagu Indonesia, tapi lagu-lagu barat. Kayaknya lebih asyik," tutur Eet.
Pada 1978, keluarga Sjahranie boyong ke Jakarta. Ia melanjutkan sekolah di Perguruan Cikini. Tahu Eet jago main gitar, teman-teman sekolahnya yang suka ngeband mengajaknya ikut Festival Band SLTA se-Jakarta. Tak disangka, Eet mendapat gelar gitaris terbaik, sedang Cikini's Band menduduki peringkat kedua. Selain itu, Eet ikut membantu pengisi musik untuk operet sekolahnya. Di situ ia bertemu Iwan Madjid, yang lalu mengenalkannya dengan Fariz RM dan Darwin. Temu punya temu, mereka sepakat membentuk grup band, namanya WOW. "Tapi belum terealisir saya sudah kadung pergi ke Amerika," ujar Eet.
(WOW sendiri sempat mengeluarkan album, minus Eet). Di negeri Paman Sam, Eet mengambil Workshop Recording Sound Engineering di Chillicote, Ohio selama tiga bulan. Selama di sana, ia banyak bertemu musisi Indonesia, yang juga sedang studi musik, antara lain kawan lamanya Fariz RM dan Iwan Madjid, serta Ekie Soekarno. Pertemanan mereka berlanjut sampai di tanah air. Dalam beberapa kesempatan, Eet kerap diajak rekaman. Saat Fariz RM menggagas proyek album Barcelona, Eet mengisi sound gitarnya. Atau waktu Ekie Soekarno membuat album Kharisma I dan Kharisma II.
Saat menggarap album Ekie, Eet bertemu Jockey Suryaproyogo, yang lalu mengajaknya masuk God Bless, menggantikan posisi Ian Antono. Tak hanya sebagai player, Eet juga ditawari produser rekaman untuk menggarap beberapa proyek album solo rock. Dari beberapa nama yang diajukan, Eet memilih Ecky Lamoh. Alasannya, ia sudah tertarik dengan warna vokal Ecky sejak sama-sama mengisi album Kharisma-nya Eki Soerkarno. Tapi, Eet ingin format solo album dirubah menjadi duo.
Titelnya "E dan E", singkatan dari Ecky Lamoh dan Eet Sjahranie. Namun, ditengah jalan, kedua musisi ini malah membentuk grup band. Fajar S. (drum) dan Iwan Xaverius (bas) yang sejak awal ikut merancang konsep album mereka, diajak bergabung. Jadilah namanya berubah menjadi EdanE.
Bersama EdanE, Eet mencurahkan kemampuannya dalam bermain gitar. Impiannya menjadikan grup rock, yang paling tidak secara musical sama kualitasnya dengan grup-grup rock dari luar, berusaha ia wujudkan. Hasilnya, semua orang mengakui Eet terbilang berhasil mempresentasikan musik rock yang bermutu. Sayatan-sayatan gitar yang bertehnik serta eksperimen distorsi sound-nya yang njelimet, banyak membuat orang berdecak. Maka, tidak terlalu berlebihan jika ia dijuluki salah satu kampiun gitar rock di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar